Bila engkau tinggal di dunia ini, engkau akan dikejutkan oleh kematian para kekasihmu
Namun kematian dirimu, meski aku berusaha untuk tidak mempedulikan, lebih mengejutkan bagiku
Wanita itu terjatuh di atas lantai dan tak sadarkan diri..
Kejadian itu bukan untuk pertama kali. Ia mengalami goncangan jiwa
yang berkepanjangan semenjak ia menikah beberapa tahun yang lalu..
Sebelumnya orang-orang menyatakan kepadanya bahwa calon suaminya itu
adalah lelaki yang baik. Ia mempunyai kepribadian yang baik. Engkau akan
mudah mempengaruhi dirinya agar mengejar ketinggalannya dalam persoalan
agama dan agar ia selalu menjaga shalat jama’ah.
Wahai putriku, sesungguhnya adik perempuanmu sudah lebih dahulu menikah daripadamu. Aku yakin, inilah yang terbaik bagimu.
Ibuku turut menyokong dengan menyatakan bahwa lelaki yang melamar ini
orang yang berkeadaan, dari keluarga yang baik dan pekerjaannya bagus.
Berbagai manifestasi yang serba wah itu sama sekali tidak perlu buat diriku.
Aku hanya menanyakan tentang agamanya. Semua itu tidak berguna buat
diriku. Aku hanya menginginkan seorang lelaki yang shalih, yang
membantuku berbuat kebajikan dan taat kepada Allah. Karena lelaki
semacam itu, bila mencintaiku, pasti akan memuliakan diriku. Kalau ia
tidak menyukaiku, ia akan melepaskan diriku dengan cara yang baik.
Betapa seringnya kita mendengar kisah-kisah yang mengharukan ketika
suami menzhalimi istrinya dan percekcokan yang terjadi di antara mereka,
akibat jeleknya akhlak dan agama mereka.
Aku memimpikan seorang suami yang akan membangunkan diriku untuk shalat di tengah malam…
Aku juga berdoa kepada Allah di tengah malam dengan berlinang air
mata, agar menganugerahkan kepadaku seorang suami yang menolongku
berbuat ketaatan dan hidup bersamanya dalam keridhaan Allah…
Berjalan seiring menuju kepada Allah, mengikuti jejak Rasulullah dan para sahabat beliau yang mulia…
Aku memimpikan seorang lelaki yang akan mendidik anak-anaknya dengan pendidikan Islam yang benar.
Seolah-olah aku sedang berdiri di depan pintu memandangi suamiku itu
bersama anakku menuju masjid. Aku membayangkan seandainya suara suamiku
mengetuk telingaku: “Berapa juz Al-Qur’an yang sudah engkau hafal?
Berapa juz pula yang sudah engkau baca?” Aku membayangkan seandainya aku
bersama anakku yang masih kecil berdiri di hadapan Ka’bah sambil
berdoa. Aku akan melahirkan sebanyak-banyaknya keturunan, semasa itu
memberi pahala buat diriku..
Aku akan melahirkan ke dunia ini seorang anak yang akan bertauhid
kepada Allah. Semakin lama aku membayangkan hal itu, semakin selama itu
pula aku merasa nikmat dengan mimpi-mimpi tersebut.
Bagaimanapun, segala puji bagi Allah. Aku berharap-harap pahala dan
bersabar terhadap suamiku ini. Pada awalnya, seolah-olah ia adalah orang
yang rajin shalat. Seiring dengan berjalannya waktu, tampak ia amat
berat melakukan shalat.
“Apa yang engkau inginkan?” tanyanya. Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang… Aku mau shalat, jawabku. Waktu masih sangat pagi sekali…
Demikian dengan cepat ia memberi tanggapan bila aku membujuknya untuk
melakukan shalat berjamaah, sehingga ia tidak meninggalkannya. Aku
merasa bahwa ia akan berubah dengan desakanku untuk mencari yang lebih
utama. Paling tidak, demikianlah optimisme diriku..
Aku sungguh khawatir terhadap teman-teman yang jahat. Suamiku itu
pernah menceritakan kepadaku sebagian di antara mereka. Aku khawatir
orang-orang itu akan mempengaruhi dirinya. Aku memikirkan satu cara yang
mungkin lebih berpengaruh daripada sekedar nasihatku saja.
Kenapa aku tidak memperkenalkannya kepada seorang pemuda shalih, agar
ia bisa terpengaruh olehnya? Suami teman wanitaku adalah seorang pemuda
yang baik, konsekuen dalam Islam dan insya Allah juga orang yang
shalih. Aku segera menelepon teman wanitaku itu dan ia pun segera
menyambut baik buah pikiranku tersebut, bahkan turut memberi dorongan
kepada suaminya. Akhirnya temanku itu datang berkunjung bersama
suaminya.
Hatiku sungguh berbunga-bunga. Semoga Allah menanamkan rasa cinta
pada diri suamiku kepadanya. Semakin lama waktu kunjungan mereka,
semakin berdetak jantungku dibuatnya…
Aku kembali dan menemuinya dengan tergesa. Aku duduk dan menekankan
jari-jari tanganku dengan kuat. Menanti ia mengucapkan sesuatu… Aku
memandangi kedua belah matanya. Ia berkata: “Ia orang yang lembut dan
baik hati sekali.” Namun suamiku tampaknya tidak juga bersemangat untuk
bertemu dengan mereka dan pergi mengunjungi mereka, sebagaimana janjinya
untuk membalas kunjungan mereka.
Aku sudah berusaha dengan berbagai cara dan jalan, untuk berusaha
memeliharanya agar tetap shalat berjamaah di masjid. Sekarang, tekadku
semakin bertambah, setelah melahirkan anak baginya. Aku menghabiskan
waktu malam yang panjang seorang diri dengan begadang..
Sementara suamiku tertawa terbahak-bahak bersama teman-temannya, aku
menangis seorang diri bersama anakku… Aku terus mendoakan dirinya agar
mendapatkan hidayah.
Aku sengaja melakukan shalat malam di kamar kami, di sisinya. Dengan
harapan semoga Allah memberi hidayah hatinya… Terkadang dia terbangun
dan melihatku shalat. Pada waktu siang, kulihat bahwa ia terpengaruh
juga oleh shalatku dan panjangnya…
Sore harinya, ia memintaku untuk menyiapkan pakaian-pakaiannya,
karena ia akan bepergian ke luar kota dalam urusan bisnis. Aku tidak
bisa membedakan apakah ia berkata jujur atau sebaliknya. Umumnya bila ia
bepergian, ia tidak pernah menghubungi kami. Terkadang ia menelepon dan
meninggalkan nomor kamar dan nomor teleponnya. Bila ia menghubungi, aku
akan tahu di mana ia berada. Namun seringnya aku tidak mengetahui ke
mana ia pergi. Hanya saja aku tetap bersangka baik kepadanya sebagai
seorang muslim.
Selama perjalanannya, aku mengkhususkan doa untuknya. Di hari kedua
perjalanannya, ia menelepon kami: “Ini nomor teleponku.” Alhamdulillah,
aku merasa tenang karena ia masih berada di kerajaan Saudi Arabia.
Selama tiga hari kemudian, tidak ada terdengar lagi suaranya. Namun pada
hari keempat, kembali terdengar suaranya. Namun aku hampir tidak
mengenalinya. Suara yang mengandung kedukaan. “Apa yang menimpamu?!”
“Aku akan kembali malam ini juga, insya Allah.”
Pada malam itu, aku tidak dapat tidur karena ia menangis terus
menerus. Sebenarnya apa yang terjadi denganmu? Ia menangis seperti anak
kecil. Aku pun akhirnya ikut menangis, sementara aku tidak mengetahui
apa yang terjadi dengannya. Beberapa saat kemudian, ia terdiam lama.
Lalu ia memandangku, sementara air matanya jatuh berderai…
Ia mengusap air matanya yang terakhir, kemudian mulai bercerita: “Maha Suci Allah, seorang teman kerjaku…
Kami pergi bersama-sama untuk menyelesaikan sebagian pekerjaan kami.
Kami tidur di dua kamar yang saling bersebelahan, dan hanya dibatasi
oleh sebuah tembok. Sore itu kami makan bersama. Di hadapan meja
hidangan, kami terlibat pembicaraan. Kami banyak tertawa dan sama sekali
tidak punya keinginan untuk tidur. Kami berjalan-jalan di pasar-pasar
selama dua jam sambil berjalan kaki tanpa berhenti, sementara mata kami
tidak terpejam dari pandangan-pandangan yang haram.
Kemudian kami kembali dan berpisah ke kamar masing-masing dengan niat
untuk kembali menyelesaikan pekerjaan keesokan harinya. Aku tertidur
dengan nyenyak. Aku shalat Shubuh pada pukul setengah delapan. Kuhubungi
temanku lewat telepon untuk membangunkannya, namun tidak ada jawaban.
Aku mengulanginya lagi, karena kemungkinan ia sedang di kamar mandi. Aku
meminum segelas susu yang sudah tersedia. Kemudian aku meneleponnya
sekali lagi. Tidak ada juga jawaban.
Hari sudah menunjukkan pukul delapan. Kami sudah terlambat dari jam
kerja yang ditetapkan. Aku mengetuk pintunya, namun tidak ada jawaban.
Aku segera menghubungi bagian informasi hotel, kalau-kalau ia sudah
keluar. Namun mereka mengatakan bahwa ia masih ada dalam kamarnya. Kami
harus membuka pintu untuk melihatnya..
Keadaan tampaknya mengkhawatirkan. Mereka mengeluarkan kunci cadangan
kamar itu. Kami pun memasuki kamar. Ternyata ia tertidur. “Hai Shalih,”
panggilku. Aku mengulang memanggilnya. Aku mengeraskan suaraku lagi
sambil mendekatinya. Ia tertidur, tetapi sambil menggigit lidahnya,
sementara warna kulitnya berubah. Aku memanggilnya lagi dan semakin
mendekatnya. Ia tidak bergerak sama sekali.
Hasil diagnosa dokter menyatakan bahwa ia sudah meninggal sejak
semalam akibat serangan jantung mendadak. Kemana kesehatannya selama
ini? Kebugarannya, kemudaannya? Tadi malam, kami baru saja
berjalan-jalan, ia tidak mengeluhkan sakit apapun. Tidak ada penyakit,
dan tidak ada keluhan apapun. Aku kembali memikirkan. Ini adalah
kematian mendadak yang tidak diketahui kapan akan datang. Bahkan
terkadang tanpa tanda-tanda.
Aku bertanya kepada diriku sendiri: Mengapa bukan aku yang bernasib
seperti Shalih? Apa bekalku untuk menghadap Allah? Mana amalanku? Tidak
ada sama sekali. Aku segera menyadari bahwa aku telah melalaikan hak-hak
Allah. Suamiku terdiam, lalu ia menangis dan aku pun ikut menangis.
Kami menangis bersama-sama. Aku memuji Allah atas hidayah tersebut.
Setelah itu kami betul-betul merasa hidup bahagia, sebagaimana yang aku
mimpikan, atau lebih baik dari itu…
Seminggu kemudian…
Suamiku amat berterimakasih kepadaku, karena semangat dan usahaku
untuk membimbingnya. Beliau menyatakan bahwa insya Allah kami akan pergi
menjalankan umrah dan tinggal di Mekah pada akhir pekan, untuk memulai
lembaran baru dalam kehidupan kami dengan komitmen penuh. Hampir saja
aku terbang karena riangnya. Sejak menikah, aku belum pernah pergi ke
Mekah.
Pada waktu Dhuha hari itu juga, aku berangkat ke tanah haram… Jumlah
orang sedikit, karena kala itu musim panas sehingga tidak begitu ramai.
Allah telah mengabulkan apa yang selama ini aku impikan.
Bersama anakku, aku berdiri di depan Ka’bah. Namun aku tidak mampu
mendoakannya, karena aku terus menangis dan menangis, sehingga hatiku
serasa terputus…
Keesokan harinya. Hari ini, insya Allah aku melakukan thawaf wadaa’ dan pergi meninggalkan tanah suci ini.
Usai melakukan thawaf wadaa’… kami meninggalkan Al-Haram untuk
siap-siap pergi. “Apa yang engkau bawa?” Ternyata kitab Ibnu Rajab
“Jami’ul Ulumi wal Hikam”, kitab Ibnul Qayyim “Zaadul Ma’aad fi Hadyi
Khairil Ibaad” juga “Al-Waabilush Shayyib” oleh Ibnul Qayyim, yang
lainnya kitab “Al-Jawaabul Kaafi Liman Sa-ala ‘Anid Dawaa-isy Syaafi”
ada pula mushaf Al-Qur’an dengan ukuran kecil yang tidak pernah lepas
dari sakuku…
Wahai kekasihku. Inilah rambu-rambu jalan kita menuju Akhirat…
Ia terus mengulang-ulang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut, sambil membawa tasnya:
“Ya Rabbi, jadikanlah kami orang-orang yang mendirikan shalat
demikian juga dari anak keturunanku. Rabb kami, terimalah doa kami. Ya
Rabbi, ampunilah dosa-dosaku dan dosa-dosa kedua orang tuaku juga
dosa-dosa orang-orang beriman pada hari terjadinya hisab…” (Ibrahim:
40-41)
Sumber: Perjalanan Menuju Hidayah karya Abdul Malik Al-Qasim
(penerjemah: Abu Umar Basyir), penerbit: Darul Haq, cet. 1, Ramadhan
1422 H / Desember 2001 M. Hal. 41-49.
- Beranda
- Pribadi
- Jenis Batu Akik
- Spot
- Kesehatan
- Makanan Berwarna Pencegah Kanker
- Makanan Berprotein Dapat Mencegah Hipertensi
- Menyikat Gigi Sebelum Tidur
- Pisang Bantu Turunkan Risiko Stroke
- Pentingnya Memenuhi Kebutuhan Kolin
- Obat Kumur Beralkohol
- Risiko Kesehatan Yang Mengancam Para Pekerja Shift Malam
- Manfaat Makan Malam Lebih Awal
- 5 Tips Sederhana Agar Tetap Berenergi di Siang Hari
- 5 makanan yang bisa melawan flu
- Kisah Kehidupan
- Air Mata Perpisahan
- HARI IED maut memaksanya menanggalkan pakaian baru itu
- SI PENJUAL MINYAK WANGI dulu ia tak kusukai kini keadaan berbalik
- Tidak Dusta, Kerja Apa pun Diterima
- Menolak Korupsi, maka Pintu Rezeki pun Dibukakan Untuknya
- Batu Ginjal dan Sedekah
- Istigfar dan Keberkahan Rizki
- KEMBALI kejadian tak terduga itu akhirnya menyadarkan suamiku
- Hukum Menyiram Kuburan dengan Air dan Meletakkan Kerikil di Atasnya
- Bangkrut, Tidak Punya Harta Lagi karena Menuntut Ilmu
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar