Jumat, 27 Februari 2015

Bangkrut, Tidak Punya Harta Lagi karena Menuntut Ilmu

Luar biasa pengorbanan para ulama untuk menuntut ilmu, sampai-sampai mereka mengorbankan semua harta untuk biaya menuntut ilmu. Padahal kita tahu harta adalah salah satu ujian dunia yang sangat disenangi oleh manusia. Dan manusia pelit terhadap hartanya. Mungkin ini bisa menjadi pelajaran bagi kita bersama agar kita tidak pelit dengan harta kita untuk kebaikan kita dalam hal agama maupun untuk kebaikan orang lain. Dan JANGAN kita salah beranggapan, bahwa kita harus bangkrut dulu agar menjadi ulama atau harus bangkrut dulu baru berilmu, karena keimanan kita berbeda dengan para ulama tersebut, mereka berkeyakinan bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan hamba-Nya yang bertakwa.
Harta adalah Ujian Umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﺇِﻥَّ ﻟِﻜُﻞِّ ﺃُﻣَّﺔٍ ﻓِﺘْﻨَﺔً ﻭَﺇِﻥَّ ﻓِﺘْﻨَﺔَ ﺃُﻣَّﺘِﻲ ﺍﻟْﻤَﺎﻝُ
“Sesungguhnya masing-masing umat itu ada fitnahnya dan fitnah bagi umatku adalah harta.” [1]
Allah Ta’ala berfirman,
ﻭَﺗُﺤِﺒُّﻮﻥَ ﺍﻟْﻤَﺎﻝَ ﺣُﺒًّﺎ ﺟَﻤًّﺎ
“Dan kalian mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.” (Al Fajr: 20)
Kodrat manusia sangat mencintai harta, sampai-sampai lebih berbahaya dari dua serigala terhadap kambing jika mereka tidak bertakwa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
»ﻣَﺎ ﺫﺋﺒﺎﻥ ﺟَﺎﺋِﻌَﺎﻥِ ﺃُﺭﺳِﻼَ ﻓﻲ ﻏَﻨَﻢٍ ﺑﺄﻓﺴَﺪَ‏‎ ‎ﻟﻬﺎ ﻣِﻦْ ﺣِﺮﺹِ ﺍﻟﻤﺮﺀ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﺎﻝ‎ ‎ﻭﺍﻟﺸَّﺮَﻑ ﻟﺪﻳﻨﻪِ «
“Tidaklah dua serigala lapar yang menghampiri seekor kambing lebih berbahaya baginya dari ambisi seseorang kepada harta dan kedudukan bagi agamanya.” [2]
Beliau juga bersabda,
ﻟَﻮْ ﻛَﺎﻥَ ﻻِﺑْﻦِ ﺁﺩَﻡَ ﻭَﺍﺩِﻳَﺎﻥِ ﻣِﻦْ ﻣَﺎﻝٍ ؛‎ ‎ﻻَﺑْﺘَﻐَﻰ ﺛَﺎﻟِﺜﺎً , ﻭَﻻَ ﻳَﻤَﻸُ ﺟَﻮْﻑَ ﺍﺑْﻦِ ﺁﺩَﻡَ ﺇِﻻَّ‏‎ ‎ﺍﻟﺘُّﺮَﺍﺏُ , ﻭَﻳَﺘُﻮْﺏُ ﺍﻟﻠﻪ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﻦْ ﺗَﺎﺏَ
“Seandainya anak Adam memiliki dua lembah harta; pasti ia menginginkan yang ketiga, sedangkan perut anak Adam tidaklah dipenuhi kecuali dengan tanah, dan Allah memberi taubat-Nya kepada yang bertaubat.” [3]
Kisah Para Ulama yang Bangkrut karena Menuntut Ilmu
Para ulama mencurahkan segalanya begitu juga harta mereka, sampai-sampai ada ungkapan dari beberapa orang ulama salah satunya yaitu Syu’bah, beliau berkata,
ﻣَﻦْ ﻃَﻠَﺐَ ﺍﻟْﺤَﺪِﻳﺚَ ﺃَﻓْﻠَﺲَ
“Barangsiapa yang menuntut ilmu hadist/belajar agama maka akan bangkrut.” [4]
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,
ﻟَﺎ ﻳَﺼْﻠُﺢُ ﻃَﻠَﺐُ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢِ ﺇِﻟَﺎ ﻟِﻤُﻔْﻠِﺲ
“Tidak layak bagi orang yang menuntut ilmu kecuali orang yang siap miskin/bangkrut.” [5]
Ibnu Sa’ad berkata, aku mendengar Musa bin Dawud berkata,
ﺃﻓﻠﺲ ﺍﻟﻬﻴﺜﻢ ﺑﻦ ﺟﻤﻴﻞ ﻓﻲ ﻃﻠﺐ‎ ‎ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻣﺮﺗﻴﻦ
“Al-Haitsam bin Jamil bangkrut dua kali ketika mencari hadits.” [6]
Ibnu ‘Adi berkata mengisahkan tentang Yahya Ibnu Ma’in,
ﻛﺎﻥ ﻣﻌﻴﻦ ﻋﻠﻰ ﺧﺮﺍﺝ ﺍﻟﺮﻱ، ﻓﻤﺎﺕ،‏‎ ‎ﻓﺨﻠﻒ ﻟﻴﺤﻴﻰ ﺍﺑﻨﻪ ﺃﻟﻒ ﺃﻟﻒ ﺩﺭﻫﻢ،‏‎ ‎ﻓﺄﻧﻔﻘﻪ ﻛﻠﻪ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺣﺘﻰ ﻟﻢ ﻳﺒﻖ ﻟﻪ‎ ‎ﻧﻌﻞ ﻳﻠﺒﺴﻪ.
“Ma’in (Ayah Yahya Ibnu Ma’in) terkena radang tenggorokan, kemudian meninggal, ia mewariskan untuk Yahya Ibnu Ma’in sebanyak 1.000.000 dirham, maka ia habiskan seluruhnya untuk mencari hadits sampai-sampai tidak ada yang tersisa kecuali sandal yang ia pakai.” [7]
Abdurrahman bin Abu Zur’ah berkata, saya mendengar ayahku berkata,
ﺑﻘﻴﺖ ﺑﺎﻟﺒﺼﺮﺓ ﻓﻲ ﺳﻨﺔ ﺃﺭﺑﻊ ﻋﺸﺮﺓ‎ ‎ﻭﻣﺎﺋﺘﻴﻦ ﺛﻤﺎﻧﻴﺔ ﺃﺷﻬﺮ ﻭﻛﺎﻥ ﻓﻲ ﻧﻔﺴﻲ‎ ‎ﺃﻥ ﺃﻗﻴﻢ ﺳﻨﺔ ﻓﺎﻧﻘﻄﻊ ﻧﻔﻘﺘﻲ ﻓﺠﻌﻠﺖ‎ ‎ﺃﺑﻴﻊ ﺛﻴﺎﺏ ﺑﺪﻧﻲ ﺷﻴﺌﺎ ﺑﻌﺪ ﺷﻲﺀ ﺣﺘﻰ‎ ‎ﺑﻘﻴﺖ ﺑﻼ ﻧﻔﻘﺔ
“Aku menetap di Bashrah pada tahun 214 Hijriyah. Sebenarnya aku ingin menetap di sana selama setahun. Namun perbekalanku telah habis dan terpaksa aku menjual bajuku helai demi helai, sampai akhirnya aku tidak punya apa-apa lagi.” [8]
Demikian semoga bermanfaat.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush shalihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam.

Hukum Menyiram Kuburan dengan Air dan Meletakkan Kerikil di Atasnya

Alhamdulillah Dianjurkan menyiram kuburan setelah mayat dikuburkan untuk menjaga tanah agar tidak berterbangan. Terdapat dalam ‘Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, 32250:
“Kalangan mazhab Hanafi, Syafii dan Hanbali dengan tegas mengatakan, disunnahkan memercikkan air di atas kuburan (mayat) setelah dikuburkan. Karena Nabi sallallahu alaihi wa sallam melakukan hal itu terhadap kuburan Saad bin Muaz. Dan beliau memerintahkan hal itu kepada kuburan Utsman bin Maz’un.
Ulama dalam mazhab Syafii dan Hanbali menambahkan agar meletakkan kerikil kecil di atasnya. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ja’far bin Muhammad dari ayahnya,
“Sesungguhnya Nabi sallallahu alaihi wa sallam memercikkan (air) di atas kuburan anaknya Ibrahim dan menaruh kerikil (di atasnya). Karena hal itu lebih menguatkan dan tidak cepat menyusut serta lebih menahan tanah dari sapuan angin.” (Silakan lihat Tabyinul Haqaiq, 1/246. Asna Al-Mathalib, 1/328. Kasyful Qana, 2/138)
Syekh Al-Albany rahimahullah mengatakan, “Dalam memercikkan air di kuburan banyak hadits, akan tetapi ada cacatnya –sebagaimana saya telah jelaskan hal itu dalam kitab Irwa’ul Ghalil (3/205 – 206) kemudian saya dapatkan di Mu’jam Al-Ausat, oleh Ath-Thabrani hadits dengan sanad kuat bahwa Nabi sallallahu alaihi wa sallam memercikan air di kuburan anaknya Ibrahim, maka saya kutip riwayat tersebut dalam Silsilah Al-Ahadits As-Shahihah (Kumpulan Hadits Shahih, no. 3045).” (Silsilah Al-Ahadits Ad-Dhaifah, 13/994)
Adapun keyakinan sebagian orang bahwa memercikkan air di atas kuburan itu bermanfaat bagi mayat. Maka keyakinan seperti ini adalah batil tidak ada asalnya. Anjuran tentang hal tersebut semata agar dapat menguatkan tanah.
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Adapun memercikkan air di atas kuburan, maksudnya adalah menguatkan tanah. Bukan seperti persangkaan orang awam bahwa maksudnya adalah mendinginkan mayat. Karena mayat tidak dingin dengan air. Akan tetapi dapat didinginkan dengan pahalanya. Akan tetapi karena untuk menguatkan tanah.” (As-Syarh Al-Kafi)
Beliau rahimahullah juga ditanya, “Apakah memercikkan air di atas kuburan dapat bermanfaat untuk mayat?”
Beliau menjawab, “Tidak bermanfaat untuk mayat, barangsiapa yang melakukan hal itu dengan berkeyakinan seperti itu, maka keyakinannya tidak benar. Sesungguhnya memercikkan air di kuburan ketika menguburkan agar komponen tanah tidak berterbangan karena angin atau lainnya. Ini adalah maksud dari memercikkan air di kuburan ketika mengubur. Sementara apakah mayat dapat mengambil manfaat, maka mayat tidak dapat mengambil manfaat darinya. Air juga tidak sampai kepadanya. Dan jasadnya juga tidak membutuhkan air.” (Nurun Ala Ad-Darbi)
Wallahu a’lam.

KEMBALI kejadian tak terduga itu akhirnya menyadarkan suamiku..

Bila engkau tinggal di dunia ini, engkau akan dikejutkan oleh kematian para kekasihmu
Namun kematian dirimu, meski aku berusaha untuk tidak mempedulikan, lebih mengejutkan bagiku
Wanita itu terjatuh di atas lantai dan tak sadarkan diri..
Kejadian itu bukan untuk pertama kali. Ia mengalami goncangan jiwa yang berkepanjangan semenjak ia menikah beberapa tahun yang lalu..
Sebelumnya orang-orang menyatakan kepadanya bahwa calon suaminya itu adalah lelaki yang baik. Ia mempunyai kepribadian yang baik. Engkau akan mudah mempengaruhi dirinya agar mengejar ketinggalannya dalam persoalan agama dan agar ia selalu menjaga shalat jama’ah.
Wahai putriku, sesungguhnya adik perempuanmu sudah lebih dahulu menikah daripadamu. Aku yakin, inilah yang terbaik bagimu.
Ibuku turut menyokong dengan menyatakan bahwa lelaki yang melamar ini orang yang berkeadaan, dari keluarga yang baik dan pekerjaannya bagus.
Berbagai manifestasi yang serba wah itu sama sekali tidak perlu buat diriku.
Aku hanya menanyakan tentang agamanya. Semua itu tidak berguna buat diriku. Aku hanya menginginkan seorang lelaki yang shalih, yang membantuku berbuat kebajikan dan taat kepada Allah. Karena lelaki semacam itu, bila mencintaiku, pasti akan memuliakan diriku. Kalau ia tidak menyukaiku, ia akan melepaskan diriku dengan cara yang baik. Betapa seringnya kita mendengar kisah-kisah yang mengharukan ketika suami menzhalimi istrinya dan percekcokan yang terjadi di antara mereka, akibat jeleknya akhlak dan agama mereka.
Aku memimpikan seorang suami yang akan membangunkan diriku untuk shalat di tengah malam…
Aku juga berdoa kepada Allah di tengah malam dengan berlinang air mata, agar menganugerahkan kepadaku seorang suami yang menolongku berbuat ketaatan dan hidup bersamanya dalam keridhaan Allah…
Berjalan seiring menuju kepada Allah, mengikuti jejak Rasulullah dan para sahabat beliau yang mulia…
Aku memimpikan seorang lelaki yang akan mendidik anak-anaknya dengan pendidikan Islam yang benar.
Seolah-olah aku sedang berdiri di depan pintu memandangi suamiku itu bersama anakku menuju masjid. Aku membayangkan seandainya suara suamiku mengetuk telingaku: “Berapa juz Al-Qur’an yang sudah engkau hafal? Berapa juz pula yang sudah engkau baca?” Aku membayangkan seandainya aku bersama anakku yang masih kecil berdiri di hadapan Ka’bah sambil berdoa. Aku akan melahirkan sebanyak-banyaknya keturunan, semasa itu memberi pahala buat diriku..
Aku akan melahirkan ke dunia ini seorang anak yang akan bertauhid kepada Allah. Semakin lama aku membayangkan hal itu, semakin selama itu pula aku merasa nikmat dengan mimpi-mimpi tersebut.
Bagaimanapun, segala puji bagi Allah. Aku berharap-harap pahala dan bersabar terhadap suamiku ini. Pada awalnya, seolah-olah ia adalah orang yang rajin shalat. Seiring dengan berjalannya waktu, tampak ia amat berat melakukan shalat.
“Apa yang engkau inginkan?” tanyanya. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang… Aku mau shalat, jawabku. Waktu masih sangat pagi sekali… Demikian dengan cepat ia memberi tanggapan bila aku membujuknya untuk melakukan shalat berjamaah, sehingga ia tidak meninggalkannya. Aku merasa bahwa ia akan berubah dengan desakanku untuk mencari yang lebih utama. Paling tidak, demikianlah optimisme diriku..
Aku sungguh khawatir terhadap teman-teman yang jahat. Suamiku itu pernah menceritakan kepadaku sebagian di antara mereka. Aku khawatir orang-orang itu akan mempengaruhi dirinya. Aku memikirkan satu cara yang mungkin lebih berpengaruh daripada sekedar nasihatku saja.
Kenapa aku tidak memperkenalkannya kepada seorang pemuda shalih, agar ia bisa terpengaruh olehnya? Suami teman wanitaku adalah seorang pemuda yang baik, konsekuen dalam Islam dan insya Allah juga orang yang shalih. Aku segera menelepon teman wanitaku itu dan ia pun segera menyambut baik buah pikiranku tersebut, bahkan turut memberi dorongan kepada suaminya. Akhirnya temanku itu datang berkunjung bersama suaminya.
Hatiku sungguh berbunga-bunga. Semoga Allah menanamkan rasa cinta pada diri suamiku kepadanya. Semakin lama waktu kunjungan mereka, semakin berdetak jantungku dibuatnya…
Aku kembali dan menemuinya dengan tergesa. Aku duduk dan menekankan jari-jari tanganku dengan kuat. Menanti ia mengucapkan sesuatu… Aku memandangi kedua belah matanya. Ia berkata: “Ia orang yang lembut dan baik hati sekali.” Namun suamiku tampaknya tidak juga bersemangat untuk bertemu dengan mereka dan pergi mengunjungi mereka, sebagaimana janjinya untuk membalas kunjungan mereka.
Aku sudah berusaha dengan berbagai cara dan jalan, untuk berusaha memeliharanya agar tetap shalat berjamaah di masjid. Sekarang, tekadku semakin bertambah, setelah melahirkan anak baginya. Aku menghabiskan waktu malam yang panjang seorang diri dengan begadang..
Sementara suamiku tertawa terbahak-bahak bersama teman-temannya, aku menangis seorang diri bersama anakku… Aku terus mendoakan dirinya agar mendapatkan hidayah.
Aku sengaja melakukan shalat malam di kamar kami, di sisinya. Dengan harapan semoga Allah memberi hidayah hatinya… Terkadang dia terbangun dan melihatku shalat. Pada waktu siang, kulihat bahwa ia terpengaruh juga oleh shalatku dan panjangnya…
Sore harinya, ia memintaku untuk menyiapkan pakaian-pakaiannya, karena ia akan bepergian ke luar kota dalam urusan bisnis. Aku tidak bisa membedakan apakah ia berkata jujur atau sebaliknya. Umumnya bila ia bepergian, ia tidak pernah menghubungi kami. Terkadang ia menelepon dan meninggalkan nomor kamar dan nomor teleponnya. Bila ia menghubungi, aku akan tahu di mana ia berada. Namun seringnya aku tidak mengetahui ke mana ia pergi. Hanya saja aku tetap bersangka baik kepadanya sebagai seorang muslim.
Selama perjalanannya, aku mengkhususkan doa untuknya. Di hari kedua perjalanannya, ia menelepon kami: “Ini nomor teleponku.” Alhamdulillah, aku merasa tenang karena ia masih berada di kerajaan Saudi Arabia. Selama tiga hari kemudian, tidak ada terdengar lagi suaranya. Namun pada hari keempat, kembali terdengar suaranya. Namun aku hampir tidak mengenalinya. Suara yang mengandung kedukaan. “Apa yang menimpamu?!” “Aku akan kembali malam ini juga, insya Allah.”
Pada malam itu, aku tidak dapat tidur karena ia menangis terus menerus. Sebenarnya apa yang terjadi denganmu? Ia menangis seperti anak kecil. Aku pun akhirnya ikut menangis, sementara aku tidak mengetahui apa yang terjadi dengannya. Beberapa saat kemudian, ia terdiam lama. Lalu ia memandangku, sementara air matanya jatuh berderai…
Ia mengusap air matanya yang terakhir, kemudian mulai bercerita: “Maha Suci Allah, seorang teman kerjaku…
Kami pergi bersama-sama untuk menyelesaikan sebagian pekerjaan kami. Kami tidur di dua kamar yang saling bersebelahan, dan hanya dibatasi oleh sebuah tembok. Sore itu kami makan bersama. Di hadapan meja hidangan, kami terlibat pembicaraan. Kami banyak tertawa dan sama sekali tidak punya keinginan untuk tidur. Kami berjalan-jalan di pasar-pasar selama dua jam sambil berjalan kaki tanpa berhenti, sementara mata kami tidak terpejam dari pandangan-pandangan yang haram.
Kemudian kami kembali dan berpisah ke kamar masing-masing dengan niat untuk kembali menyelesaikan pekerjaan keesokan harinya. Aku tertidur dengan nyenyak. Aku shalat Shubuh pada pukul setengah delapan. Kuhubungi temanku lewat telepon untuk membangunkannya, namun tidak ada jawaban. Aku mengulanginya lagi, karena kemungkinan ia sedang di kamar mandi. Aku meminum segelas susu yang sudah tersedia. Kemudian aku meneleponnya sekali lagi. Tidak ada juga jawaban.
Hari sudah menunjukkan pukul delapan. Kami sudah terlambat dari jam kerja yang ditetapkan. Aku mengetuk pintunya, namun tidak ada jawaban. Aku segera menghubungi bagian informasi hotel, kalau-kalau ia sudah keluar. Namun mereka mengatakan bahwa ia masih ada dalam kamarnya. Kami harus membuka pintu untuk melihatnya..
Keadaan tampaknya mengkhawatirkan. Mereka mengeluarkan kunci cadangan kamar itu. Kami pun memasuki kamar. Ternyata ia tertidur. “Hai Shalih,” panggilku. Aku mengulang memanggilnya. Aku mengeraskan suaraku lagi sambil mendekatinya. Ia tertidur, tetapi sambil menggigit lidahnya, sementara warna kulitnya berubah. Aku memanggilnya lagi dan semakin mendekatnya. Ia tidak bergerak sama sekali.
Hasil diagnosa dokter menyatakan bahwa ia sudah meninggal sejak semalam akibat serangan jantung mendadak. Kemana kesehatannya selama ini? Kebugarannya, kemudaannya? Tadi malam, kami baru saja berjalan-jalan, ia tidak mengeluhkan sakit apapun. Tidak ada penyakit, dan tidak ada keluhan apapun. Aku kembali memikirkan. Ini adalah kematian mendadak yang tidak diketahui kapan akan datang. Bahkan terkadang tanpa tanda-tanda.
Aku bertanya kepada diriku sendiri: Mengapa bukan aku yang bernasib seperti Shalih? Apa bekalku untuk menghadap Allah? Mana amalanku? Tidak ada sama sekali. Aku segera menyadari bahwa aku telah melalaikan hak-hak Allah. Suamiku terdiam, lalu ia menangis dan aku pun ikut menangis. Kami menangis bersama-sama. Aku memuji Allah atas hidayah tersebut. Setelah itu kami betul-betul merasa hidup bahagia, sebagaimana yang aku mimpikan, atau lebih baik dari itu…
Seminggu kemudian…
Suamiku amat berterimakasih kepadaku, karena semangat dan usahaku untuk membimbingnya. Beliau menyatakan bahwa insya Allah kami akan pergi menjalankan umrah dan tinggal di Mekah pada akhir pekan, untuk memulai lembaran baru dalam kehidupan kami dengan komitmen penuh. Hampir saja aku terbang karena riangnya. Sejak menikah, aku belum pernah pergi ke Mekah.
Pada waktu Dhuha hari itu juga, aku berangkat ke tanah haram… Jumlah orang sedikit, karena kala itu musim panas sehingga tidak begitu ramai. Allah telah mengabulkan apa yang selama ini aku impikan.
Bersama anakku, aku berdiri di depan Ka’bah. Namun aku tidak mampu mendoakannya, karena aku terus menangis dan menangis, sehingga hatiku serasa terputus…
Keesokan harinya. Hari ini, insya Allah aku melakukan thawaf wadaa’ dan pergi meninggalkan tanah suci ini.
Usai melakukan thawaf wadaa’… kami meninggalkan Al-Haram untuk siap-siap pergi. “Apa yang engkau bawa?” Ternyata kitab Ibnu Rajab “Jami’ul Ulumi wal Hikam”, kitab Ibnul Qayyim “Zaadul Ma’aad fi Hadyi Khairil Ibaad” juga “Al-Waabilush Shayyib” oleh Ibnul Qayyim, yang lainnya kitab “Al-Jawaabul Kaafi Liman Sa-ala ‘Anid Dawaa-isy Syaafi” ada pula mushaf Al-Qur’an dengan ukuran kecil yang tidak pernah lepas dari sakuku…
Wahai kekasihku. Inilah rambu-rambu jalan kita menuju Akhirat…
Ia terus mengulang-ulang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut, sambil membawa tasnya:
“Ya Rabbi, jadikanlah kami orang-orang yang mendirikan shalat demikian juga dari anak keturunanku. Rabb kami, terimalah doa kami. Ya Rabbi, ampunilah dosa-dosaku dan dosa-dosa kedua orang tuaku juga dosa-dosa orang-orang beriman pada hari terjadinya hisab…” (Ibrahim: 40-41)
Sumber: Perjalanan Menuju Hidayah karya Abdul Malik Al-Qasim (penerjemah: Abu Umar Basyir), penerbit: Darul Haq, cet. 1, Ramadhan 1422 H / Desember 2001 M. Hal. 41-49.

Istigfar dan Keberkahan Rizki

Seorang ikhwan pergi ke pasar untuk menjual dagangannya. Waktu itu pasar sesak dengan penjual dan pembeli. Dia duduk di tempat yang telah disiapkan untuk jualan dan menjajakan dagangannya, sementara itu ia duduk di dekatnya. Waktu berlalu lama tapi orang-orang tidak ada yang tertarik dengan barangnya. Orang-orang datang melihat kemudian pergi. Dia sangat membutuhkan uang dan mau tidak mau harus menjual barangnya ini. Waktu sudah lama, tapi tidak seorang pun yang mau membeli. Dia merasa sempit dan mulai berpikir, apa yang harus dia lakukan? Seketika muncul di ingatannya sebuah hadits yang pernah dia dengar dari imam masjid, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Barangsiapa memperbanyak istighfar, Allah membuatkannya dari setiap kesusahan ada jalan keluar dan dari setiap kesempitan ada penyelesaian, serta menganugerahinya rizki dari arah yang tidak disangka-sangka.”
Dia pun mulai beristighfar dan beristighfar, dia bercerita, “Demi Allah, tatkala saya memulai istighfar orang-orang mulai datang kepadaku. Yang ini ingin membelinya dan yang lain lagi ingin agar dia yang membelinya. Yang ini menambah harga dan yang lain menaikkannya lagi. Sampai akhirnya saya merasa senang. Saya menjual habis daganganku dan alhamdulillah. Saya pulang ke rumah dengan membawa uang sementara kedua mataku meneteskan air mata karena saya telah banyak mengabaikan harta berharga ini (istighfar) dan alhamdulillah, segala puji bagi Allah Rabb semesta alam.”
> Kisah ini saya diceritakan langsung oleh seorang ikhwan secara lisan.
Sumber: Keajaiban Sedekah & Istighfar karya Hasan bin Ahmad bin Hasan Hammam (penerjemah Muhammad Iqbal, Lc & Jamaluddin), penerbit Darul Haq cet. V, Rajab 1429 H/Agustus 2008 M, hal. 134-135.

Batu Ginjal dan Sedekah

seseorang ayah mengeluh disebabkan sakit yang tiba-tiba yang tidak diketahui penyebabnya. Dia masih mengerang kesakitan dikarenakan sakitnya yang luar biasa. Anaknya membawanya ke dokter untuk mengetahui penyebab sakitnya tersebut, lalu dokter mulai memeriksa penyakitnya, dan ternyata hasilnya adalah ditemukannya batu dalam ginjalnya, di mana batu itu harus dikeluarkan melalui operasi bedah. Ayah dan anak tersebut kemudian kembali ke rumah untuk mempersiapkan operasi.
Pada pagi harinya, anak tersebut pergi menuju tempat kerjanya di mana ia baru memasukinya sebulan lalu, dan hari itu adalah akhir bulan saat anak tersebut menerima gaji. Dia merasa senang sekali menerima gajinya, karena itu adalah gaji pertama yang dia dapatkan dari pekerjaan barunya. Di saat dia pulang ke rumahnya, dia melihat seorang fakir yang berpenampilan buruk dan tua renta serta nampak kelelahan.
Anak itu mulai memerhatikan kondisi tersebut, tiba-tiba dia menetapkan suatu tindakan dengan cepat, bahwa dia harus menyedekahkan seluruh gajinya yang baru diperolehnya itu kepada pengemis tersebut dengan niat agar Allah menyembuhkan penyakit ayahnya.
Dan benarlah, dia mengeluarkan uang tersebut lalu memberikannya kepada pengemis itu, kemudian dia pulang ke rumahnya dan mengetuk pintu, tiba-tiba ayahnya membuka pintu untuknya, di wajahnya terlihat kebahagiaan dan kegembiraan, lalu dia berkata kepada anaknya, “Wahai anakku, segala puji hanya milik Allah, segala puji hanya milik Allah, baru saja saya merasakan sakit yang luar biasa lalu saya pergi ke kamar mandi untuk buang air hingga jatuhlah batu tersebut, dan sekarang saya telah merasakan kelegaan yang luar biasa.”
Menangislah anak tersebut karena bahagia, dan memuji Allah ‘Azza wa Jalla. Benarlah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam yang mulia: “Obatilah orang-orang yang sakit di antara kalian dengan sedekah.”
Sumber: Keajaiban Sedekah & Istighfar karya Hasan bin Ahmad bin Hasan Hammam (penerjemah: Muhammad Iqbal, Lc. & Jamaluddin), penerbit: Darul Haq cet. V, Rajab 1429 H/Agustus 2008 M, hal. 59-61.

Menolak Korupsi, maka Pintu Rezeki pun Dibukakan Untuknya

Seorang saudara bercerita perihal seorang pedagang di Saudi Arabia yang mengawali usahanya di pelabuhan, yang lalu ia tinggalkan. Saat bekerja di pelabuhan, seluruh komoditas niaga harus melalui dirinya, suatu posisi yang memberi peluamg bagi orang yang gemar bermain suap. Sang pedagang ini pantang menerima suap dan taat pada prosedur yang berlaku, tapi dia tahu kalau pemimpinnya suka korupsi atau menerima suap. Sekali waktu atasannya sudah tidak malu-malu lagi, yaitu dengan menyarankan sahabat kita ini agar menghindari prosedur yang berbelit-belit dan mau menerima sogokan, untuk memudahkan jalan bagi sang penyuap. Ketika mendengar saran ini, dia langsung menggigil ketakutan. Kemudian dia keluar dari kantor itu, dan dia nyaris tercekik karena saking sedih, duka, dan bimbangnya. Setelah itu, hari-hari pun berlalu, sampai para penyuap itu datang kepadanya. Ada yang bilang: “Ini adalah hadiah dari lembaga kami.” Ada pula yang berucap: “Bingkisan ini adalah penghargaan perusahaan kami atas usaha anda yang bagus.” Dan ungkapan lain yang senada dengannya. Lelaki inipun menolak dan menepis seluruh cinderamata itu. Namun sampai kapan kondisi ini terus berlangsung? Ia dihantui kecemasan kalau sekali waktu dirinya lemah sehingga mau menerima dan mengambil barang haram itu. Ada dua alternatif yang terbentang di hadapannya: meninggalkan jabatan dan gajinya atau melabrak rambu dan hukum Allah dengan menerima suap.
Karena hatinya masih bersih dan bisa menyelami kandungan firman Allah:
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tidak diduga.” (QS. Ath-Thalaq: 2-3)
Maka dia pun keluar secara total dari pekerjaannya itu.
Lebih lanjut saudara kita bertutur; kemudian Allah memberinya rezeki berupa mobil boks kecil, dan mulailah ia menjalani usaha pengangkutan barang. Rupanya bisnis transportasi ini berjalan lancar, hingga ia dapat membeli mobil boks yang lain. Karena usahanya dijalani dengan telaten dan menganggap barang pengguna jasanya seperti kepunyaannya sendiri, maka banyak pedagang pun meminta jasa layanan transportasinya untuk mengangkut barang-barang mereka.
Sekali waktu kecelakaan menimpanya, di mana salah satu mobil boksnya hancur ditabrak mobil polantas, karena sopirnya mengantuk. Tatkala polisi lalu lintas meminta maaf, pria itu langsung memaafkannya. Polisi itu heran dengan kebesaran hati pria itu, yang memaafkan dirinya dan sekaligus mengakui kesalahan ada padanya.
Setelah berlalu sekian tahun polisi itu makin tinggi jabatannya, dan dia membawa barang dalam jumlah yang besar. Maka tidak ada keinginan lain baginya kecuali pria itulah yang dipilih untuk mengangkut barang-barang miliknya, tanpa berkurang sedikit pun.
Wahai pembaca, lihatlah, bagaimana pintu rezeki terbuka lebar-lebar untuk pria itu, setelah ia menolak untuk korupsi. Kini lelaki itu termasuk pengusaha kelas kakap di negerinya. Dan dia sangat dermawan sekali dalam memberi santunan untuk orang-orang dhaif dan kaum papa. Dalam jumlah yang besar ia alokasikan kekayaannya untuk sumbangan ini.
Demikianlah gambaran orang yang mencampakkan sesuatu karena Allah; maka Allah menukarnya dengan perkara yang lebih baik darinya. (Lihat kitab Qishashun Iimaaniyyah yang dihimpun oleh Adil Abdul Ali)
Sumber: Sorga di Dunia karya Ibrahim bin Abdullah Al-Hazimi
(penerjemah: Abu Sumayyah Syahiidah), penerbit: Pustaka Al -Kautsar, cet. Kedua, Mei 2000, hal. 103-106.

Tidak Dusta, Kerja pun Diterima

Ada seseorang dari kalangan bangsa Eropa yang masuk Islam, lalu baik keislamannya, jujur perilakunya, dan punya hasrat menggebu untuk menampakkan jati diri keislamannya. Lelaki itu juga memiliki rasa percaya diri yang tinggi di hadapan orang-orang kafir, tanpa malu atau ragu, hatta dalam kondisi yang kadang tidak relevan, dia tetap punya keinginan yang kuat untuk itu. Sekali waktu ada pengumuman dari salah satu instansi pemerintahan kafir tentang adanya peluang kerja. Lalu lelaki yang bangga dengan keislamannya ini pun mengajukan lamaran kerja, dan mesti baginya untuk menjalani psikotes dan tes-tes lain yang didasarkan pada job pekerjaan itu.
Ketika wawancara dimulai, tim penguji khusus di instansi itu mengajukan sederet pertanyaan. Sebagian pertanyaan itu adalah: “Apakah anda minum khamar?” Lelaki itu menjawab dengan: “Saya tidak minum khamar, karena saya Muslim, dan agama saya melarang saya menggunakan khamar sebagai obat atau meminumnya.” Tim itu juga mengajukan pertanyaan: “Apakah anda punya teman kencan dan pacar?” Saudara kita itu menjawab: “Tidak, karena Dienul Islam, agama yang saya peluk, mengharamkan saya melakukan hal itu. Dan agama Islam membatasi pergaulan saya hanya dengan istri saya, yang dinikahi sesuai dengan tuntunan syariat Allah Azza wa Jalla.
Setelah menjalani tes, lelaki itu keluar dan sepertinya ia putus asa untuk dapat berhasil dalam seleksi itu. Namun hasil terakhir menegaskan bahwa dari semua peserta tes yang jumlahnya bejibun itu yang diterima hanya dia seorang. Lalu pria itu pergi menemui tim penanggung jawab, dan berkata: “Saya menduga bahwa bapak menjegal saya untuk menduduki job pekerjaan itu, sebagai akibat dari keadaan saya yang bersebelahan dengan bapak menyangkut agama saya dan bapak, di mana saya beragama Islam. Dengan diterimanya saya di kalangan saudara-saudara bapak yang Nasrani, bagi saya surprise. Apa rahasia di balik ini semua?”
Jawab tim itu: “Kandidat pegawai ini memprasyaratkan seseorang yang berkepribadian, cekatan dalam segala hal, dan punya konsentrasi tinggi. Sedang orang yang gemar menenggak khamar/miras tak mungkin memiliki kapabilitas seperti itu. Kami memang sudah lama menunggu orang yang tidak mengonsumsi miras, dan karena melihat kelengkapan syarat-syarat itu ada pada anda, maka pilihan pun jatuh pada anda untuk menempati job ini.”
Kemudian sang Muslim itu pun keluar sembari melantunkan pujian untuk Tuannya (Allah) terhadap nikmat dan karunia agung yang dilimpahkan kepadanya, seraya mengulang-ulang ayat ini:
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.” (QS. Ath-Thalaq: 2)
Sumber: Sorga di Dunia karya Ibrahim bin Abdullah Al-Hazimi (penerjemah: Abu Sumayyah Syahiidah), penerbit: Pustaka Al -Kautsar, cet. Kedua, Mei 2000, hal. 101-102.